image source: www.babab.com |
Namaku Revicha Tiara Azizah. Panggil saja aku Chacha. Aku berasal dari keluarga berada. Segala fasilitas dan keinginan bisa aku dapatkan dikeluargaku. Kebahagiaan duniapun bisa aku dapatkan di sini, tapi entah mengapa masih ada yang mengganjal dibalik keinginanku. Aku jarang berkumpul bersama keluargaku hanya untuk sekedar makan malam atau nonton televisi bersama. Jangankan sekedar makan malam atau nonton televisi bersama, bertegur sapa atau senyum di depankupun bisa dihitung. Papa dan mamaku sibuk dengan urusan kantor masing-masing. Mereka berangkat ke kantor terlalu pagi sampai tak pernah sarapan pagi bersama. Begitu juga ketika pulang dari kantor, mereka pulang larut malam ketika aku sudah tertidur pulas. Sesekali aku mengajak mereka untuk makan malam bersama, mereka selalu bilang “maaf sayang ini mama lagi meeting sama client”. Menyebalkan bukan ?? alasan yang monoton!! karena itu aku jarang di rumah. Aku kesepian karena tak ada papa dan mama. Hampir setiap hari setelah pulang sekolah aku selalu hangout bersama teman-teman. Jalan-jalan, shoping, nongkrong di cafe, nonton, ataupun main di fun world.
Selain hangout dengan teman-teman, aku juga sering hangout dengan kekasihku, panggil saja dia Chiko. Chiko adalah lelaki yang sederhana dan gak aneh-aneh. Hanya itu yang kutahu saat ini, karena masih 1 bulan pacaran dengannya. Aku dan Chiko jatuh cinta pada pandangan pertama. Buat aku Chiko itu istimewa. Setiap hari kami berusaha meluangkan sedikit waktu untuk bersama meski hanya sebentar, bersenda gurau bersama, belajar bersama, atau hanya sekedar makan di kantin berdua ketika jam istirahat tiba. Ya… semua kebahagiaan dan kebersamaan itu membuatku sempat berpikir tak ada yang bisa pisahkan cinta kami. Tapi, entah kenapa? lambat laun semua kesederhanaan, kebahagiaan, dan kebersamaan itu perlahan hilang. Layaknya partikel-partikel debu yang menghilang terbawa angin. Kekasihku Chiko melakukan hal yang seharusnya tak pantas dilakukan di usia pelajar. Melenceng dari norma agama dan bertolak belakang dari syariat. Tindakan itu, ya… tindakan itu sempat membuatku trauma dan bahkan ingin mengakhiri segalanya. Disinilah puncak dari penyesalan, kekecewaan, dan rasa berdosa yang amat sangat. Bagaimana tidak, perbuatan yang seharusnya hanya boleh dilakukan setelah menikah ini dilakukan saat pacaran. Itu membuatku merasa berdosa, kotor, dan hina. Aku tak tau saat itu Allah berada dimana. Aku merasa berada dititik terjauh dari Allah. Dan aku merasa bahwa Allah nggak akan mengampuni dosa-dosaku. Sebelum terlambat maka aku memilih meninggalkan Chiko. Aku tak mau terus-menerus terpereset ke dalam lubang dosa. Aku tak tau arah. Aku tak tau harus bagaimana dan bercerita kepada siapa. Kedua orang tuaku sibuk dengan urusannya. Tak peduli dengan keadaan anaknya. Aku hanya bisa menangis dan menyesali apa yang sudah terjadi. Aku tak tau bagaimana cara menghapus luka kepedihan. Dan ini semua karena kelalaianku sendiri saat terangnya dunia menggelapkan hatiku. Lalu tiba-tiba kakak perempuanku kak Nensi menghampiriku ketika aku menangis sendiri ditaman belakang rumah. Kak Nensi adalah kakak sepupuku.
“Kenapa kamu, dik??” Tanya kak Nensi yang biasa memanggil aku adik.
“Kak,,,kak,,,kak pa Allah tak akan mengampuni dosa umatnya??”
“Allah maha pengampun. Allah akan mengampuni dosa umatnya jika umatnya benar-benar bertaubat, menyesal, dan nggak akan mengulanginya lagi. Memangnya kenapa dik??” Tanya kakak penasaran.
“Kak, aku sudah melakukan hal yang seharusnya tak boleh dilakukan. Perbuatan yang dilakukan kekasihku. Kak aku takut laknat Allah datang menghampiriku”. Ceritaku kepada kakak sambil menangis tersedu-sedu.
“Astaghfirullahalladzim adik kenapa bisa seperti itu”.
Lalu kakak melanjutkan menasehati aku…
“Lebih baik sekarang tinggalkan semuanya. Tinggalkan kekasihmu itu. Islam melarang keras pacaran. Pacaran hanya menjerumuskan kedalam zina dan dosa. Emang sih nggak semua pacaran berujung zina. Tapi semua zina berawal dari pacaran”.
“Tapi kak merasakan cinta dan kasih sayang itu kan wajar”.
“Emang manusia merasakan cinta dan kasih sayang itu wajar. Tapi jangan jadikan cinta sebagai maksiat. Jadikan cinta sebagai mihrab taat pada Allah”.
“Terus aku harus bagaimana kak?? Aku pengen setiap laki-laki bisa menghargaiaku, nggak bakal macem-macem sama aku”.
“Emmm… lebih baik kamu berjilbab aja dik. Kamu lebih cantik kalau pake jilbab. Muslimahkan wajib menutup auratnya yaitu dengan cara berjilbab”. Saran kakak.
Keesokan harinya kebetulan hari Minggu dan hari libur sekolah, aku pergi berbelanja ke mall bersama kakak. Aku membeli baju-baju muslim dan hijab yang beraneka warna nan lucu dan pastinya tetap terlihat modis. Kakak juga yang mengajariku memakai jilbab yang baik dan benar. Semenjak itulah aku memutuskan untuk berjilbab. Itulah jilbab pertamaku. Jilbab yang menutup semua auratku. Menjagaku dalam beretika dan bersikap serta bertutur kata. Dan aku pun lebih mendekatkan diri kepada Allah. Sedikit demi sedikit aku memperbaiki diri. Aku selalu berdoa dalam sujud-sujud yang panjang. Bangun disepertiga malam, memohon ampunan kepada Allah dan berharap dosa-dosa ku melebur sedikit demi sedikit. Lebih banyak belajar mengenai hukum-hukum Allah, akidah, dan akhlak.
“Alhamdullilah adikku sekarang menutup auratnya. Terus berubah menjadi yang lebih baik ya dik. Kalau kamu sedang ada masalah jangan lupa berdoa ya. Karena bersama-Nya tak ada jalan buntu. Dan ingat, pertolongan Allah itu amat dekat(QS.Al-Baqarah:214)”. Nasihat kakak sambil memujiku.
Hari demi hari pun berganti sampai aku lulus dari sekolah menengah atas. Orang tua ku memintaku agar melanjutkan ke perguruan tinggi negeri. Tapi aku menolaknya. Aku ingin bekerja. Sempat terjadi perdebatan antara aku dan orang tuaku karena aku ingin bekerja. Tapi akhirnya mereka memperbolehkan aku bekerja. Aku sibuk mencari pekerjaan. Setiap hari aku lalui jalanan panas ibukota, teriknya sinar matahari dan bermandikan debu kendaraan. Aku terus mencari pekerjaan kesana-kemari sampai akhirnya aku diterima disuatu redaksi majalah. Alhamdullilah aku ditempatkan di divisi layout majalah. Meskipun gaji tak seberapa dan masih training aku tetap bersyukur. Ketika malampun aku tak pernah lupa bangun disepertiga malam dan berdoa.
Aku menjalani masa training selama lima bulan. Setelah lima bulan kemudian lepas masa training, aku menjadi karyawan tetap dikantor redaksi majalah tersebut. Aku jalani pekerjaanku dengan senang hati dan ikhlas. Hari-hariku penuh warna dengan teman-teman dikantor yang baik dan ramah. Sejenak aku bisa melupakan masa laluku yang gelap serta tekad yang kuat dan niat untuk menjadi yang lebih baik. Menjadi muslimah yang berakhlak dan tak hanya cantik diluar tetapi juga cantik kepribadian.
2 tahun kemudian….
Aku semakin dekat dengan karyawan di redaksi majalah tersebut, baik laki-laki maupun perempuan. Dan ya… laki-laki itu. Sosok bertubuh tinggi, tampan, dan berkulit sawo matang. Entah kenapa, ada rasa tersendiri ketika aku bertemu dengannya. Dan kami pun semakin dekat. Detik demi detik kami luangkan banyak waktu dan pengertian yang membuat itu semua ada kejujuran yang menumpuk kepuasan tersendiri dan keberanian untuk semuanya. Dan setiap mata kami saling beradu aku selalu ingin melihat kedua ujung bibirnya ditarik keatas pertanda dia tersenyum padaku. Namun sayangnya masih saja ada yang mengganjal. Ya hubungan itu. Belum ada tali jalinan yang pasti diantara kami. Aku ingin secepatnya aku dan dia menjadi kita. Insyaallah…
Tak lama kemudian atas izin dan restu Allah laki-laki itu datang kepada kedua orang tuaku dan melamarku. Memang antara kami tak pernah ada hubungan seperti pacaran karena islam melarang pacaran. Yang ada hanya proses taaruf dan khitbah. Betapa bahagianya hatiku ketika dia melamarku. Dialah laki-laki pilihan Allah yang Allah kirim untuk aku. Laki-laki yang baik akidah dan akhlaknya. Mengerti dan memahami sesuai al-quran dan hadist. Agar tidak terjadi maksiat dan laknat. Allah sendiri yang mengatur ini sedemikian rupa. Maha suci Allah yang mengaruniakan cinta dalam setiap hati muslim dan muslimah. Maha besar Allah yang menurunkan hidayah demi hidayah yaitu mengetuk dan membuka pintu hati untuk aku sampai pada akhirnya aku memutuskan memakai jilbab dan bertemu laki-laki pilihan Allah semuanya terasa luar biasa. Terasa istimewa. Itulah jilbab pertamaku. Yang senantiasa menutup auratku. Menjaga sikap dan kehormatanku. Mengajarkan aku begitu banyak arti kehidupan. Bersyukur dan menghargai apa yang ada. Dan yang paling penting jilbab selalu mengingatkan aku bahwa Allah selalu bersama kita. Karena bersama-Nya tak ada jalan buntu.
source:http://www.siduta.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar